Akhir agustus. Tepat nya hari sabtu tanggal 30 tahun 2014 yang lalu terdapat sebuah event unik di salah satu dataran tinggi di jawa. Dieng Culture Festival 2014, sebuah acara yang bermaksud menggabungkan kultur tradisional dan modern dalam balutan sejuk nya udara pegunungan.
Rangkaian acara sudah disiapkan begitu rupa. Tidak jauh berbeda dengan tahun tahun sebelum nya. Dimulai dengan minum purwaceng bersama hingga cukur gembel dan nominasi film DCF2014 (Dieng Culture Festival 2014 :red).
Hal yang paling membedakan dengan DCF tahun lalu adalah membludak nya para pengunjung acara ini. Pada saat saya dan teman teman dalam perjalanan menuju dieng. Antrian panjang kendaraan sudah tertahan sejak di sekitar gardu Kejajar, Wonosobo. Perlu diketahui saat itu kami memilih menggunakan sepeda motor dari jogja menuju dieng untuk mengantisipasi terjadinya kemacetan saat menuju dieng.
Tercatat kami mengalami dua kali kemacetan yang dikarenakan karnaval. Yaitu di daerah Kaliabu, Magelang dan Kejajar, Wonosobo yang mengakibatkan perjalanan kami dari jogja menuju dieng saat itu memakan waktu lima jam, yang seharus nya dapat ditempuh dalam tiga jam jika menggunakan motor.
Padat nya pengunjung dan membludak nya peserta secara tidak langsung membuat panitia acara menjadi kewalahan. Hal itu dibuktikan dengan kurang nya koordinasi untuk pemesanan tiket peserta yang dilakukan secara online. Sungguh beruntung waktu itu mimin bernad selalu menyimpan nota pembayaran di dalam dompet nya. Sehingga ketika panitia meminta salinan bukti pembayaran saat pendaftaran ulang peserta, kami mampu menyanggupi nya. Memang di dompet nya bernad tidak pernah ada foto perempuan. Namun nota pembayaraan sewaktu ia mbribik cewek mungkin ada banyak.
Disadari atau tidak, Pengunjung dieng pada hari itu tidak hanya peserta yang mendaftar dan tercatat oleh panitia saja. Namun juga terdapat indie Traveller dan para backpacker. Hampir 26 ribu manusia memadati wilayang dieng yang seuplik itu. Bisa dibayangkan bukan bagaimana penuh sesak nya. Jalan raya dieng yang biasanya luas bisa buat lapangan futsal, kini hanya menyisakan setapak karena digunakan oleh mobil mobil pribadi dan bus wisata.
Acara perdana berupa minum purwaceng, bakar jagung dan menerbangkan lampion pun tidak luput dari sejumlah kekecewaan. Jumlah panitia yang secara kasat mata dapat dihitung tidak sebanding dengan pengunjung yang malam itu memadati lapangan candi. Mobilisasi peserta yang tidak bisa di antisipasi dan di giring oleh panitia membuat beberapa peserta mengambil inisiatif menerbangkan lampion tanpa aba aba dari panitia. Yang seketika itu pula diamini olehe sejumlah besar peseta lain nya (termasuk kami). Ketiada hadiran keamanan kali itu pun menambah masalah saat beberapa pengunjung menyalakan kembang api lontar untuk menembak lampion lampion milik peserta DCF2014.
Pagi hari nya jam 03.00, selagi kami masih di dieng dan acara DCF2014 selanjut nya belum dimulai, kami pun memutuskan untuk pergi mengengok sang fajar di bukit sikunir. Namun sayang sekali lagi sayang. Yang memiliki niat sama dengan kami tidak hanya satu dua manusia. Perjalanan menuju sikunir sudah harus dilalui dengan bermacet macet sejak puluhan kilometer sebelum nya. Sekali lagi kami terselamatkan oleh motor kami yang super praktis dan inovatif.
Sesampainya di bukit sikunir, perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki. Dikarenakan jumlah pengunjung bukit yang sangat membludak, kami pun kali itu tidak sampai puncak. Hanya tertahan di tengah jalan setapak menuju bukit sikunir dikarenakan macet parah dan berdesak desakan nya perjalanan menuju puncak bukit. Kecewa? jelas kami kecewa.
Sekembali nya kami ke candi arjuna, kami melanjutkan niat untuk menonton acara potong gembel. Melihat salah satu Ritus sakral ini tentu tidak akan kami sia siakan. Namun sekali lagi, kurang nya koordinasi antara panitia dan peserta membuat beberapa kesalahpahaman terjadi. Seperti jalur arak arak yang tidak diketahui oleh peserta hingga urutan tempat duduk yang salah.
Namun kembali lagi. dibalik semua kekecewaan itu dieng tetap memliki pesona tersendiri. Energi kekultusan yang merasuk ke dalam pori pori bersamaan dengan embun yang menguap dan mengendap di bawah tarian matahari. Hangat nya sambutan masyarakat disana yang tidak bisa dibekukan oleh cuaca malam di dieng.
Akankah kami kembali kesana tahun depan? Tentu saja. Jika umur dan jodoh kembali mempertemukan, kami pasti akan kembali ke sana. Seburuk apapun pengalaman kami di DCF2014, dieng tetaplah dieng. Pesona nya tidak akan mudah digoyahkan.
Kualitas sound system yang pas-pasan jadi kurang khidmat menikmati alunan musiknya. Acara pelepasan lampion terkesan dipaksakan, kurang terkoordinasi pelaksanaannya. Pas mau pulang kejebak dua jam lebih di antrian kendaraan yang keluar dari parkiran.
memang banyak yang harus dibenahi dari DCF tahun lalu.. semoga tahun depan semakin membaik.. 🙂