Skip to content

Daerah Istimewa Darurat Parkir, dan Dilema Institusi Pendidikan Yang Menuntut Integritas Moral dan Spiritual

Pagi hari. Setelah hujan turun, udara pagi bercampur bau aspal yang basah menemani Joni dan Juni menempuh perjalanan menuju kantor mereka berboncengan. Dengan santai ia memacu sepeda jengki nya melintasi jalanan kota. Masih pagi memang, namun jalanan kota sudah mulai ramai kendaraan. Rupanya semua warga kota memiliki pemikiran yang sama, memutuskan memulai hari begitu hujan selesai bernyanyi.

Hingga akhir nya tiba di salah satu titik kemacetan. di salah satu daerah yang merupakan komplek pendidikan dan kantor pemerintah. Namun karena menggunakan sepeda, Joni tidak memiliki kesulitan meliuk liuk menerobos kemacetan. Hingga akhir nya ia tiba di salah satu jalan di depan pengadilan.

Terheran ia dengan sangat, sejauh ingatan dia selama ini, jalan tersebut merupakan jalan dua arah. Tapi saat ini sepanjang jalan tersebut berubah menjadi satu arah. Di kiri kanan nya terlihat rangkaian parkir kendaraan roda dua dan roda empat berjejer.

“Whelaa, kok sekarang jalan disini jadi satu arah ya Jun?” Akhir nya Joni bertanya kepada Juni karena akal sehat nya masih belum mampu mencerna kejadian ini.

“Uwis suwe kok mas, udah sekitar setahun kepungkur. Cuman gara gara mas jarang lewat sini aja maka nya baru tahu sekarang” jawab Juni.

“Soal nya sekarang jalan nya udah jadi lahan parkir sama warga, kalau tetep dijadiin dua arah jadi bikin macet. Jadi nya sama pemerintah diubah jadi satu arah.” Juni mencoba menjelaskan.

“Yang menjadikan lahan parkir itu warga apa kampus depan itu? Padahal disana udah ceta ceta nyela mata ada apill dilarang parkir. Masa sih yang katanya civitas akademika gak bisa baca apill?”

” Gak mungkin kalo civitas akademika kampus di depan mas, mereka kan orang terpelajar. Yang make parkir ya kebanyakan anak SMP di jalan sebelah yang udah dikasih motor sama orang tua tapi sama sekolah gak diijinin bawa motor. Sama orang yang mau sidang di pengadilan mungkin.” Juni mencoba meluruskan pikiran Joni dengan logika yang ia punya.

“Kalo mobil di depan itu biasanya parkirnya orang tua murid TK di depan yang sedang menjemput anak mereka, jadi biasanya parkirnya gak lama.” lanjut Juni.

“Oh begitu, memang sih gak mungkin mereka yang mengaku terpelajar dan memiliki slogan moral dan spiritual mau menggunakan fasilitas umum untuk kepentingan pribadi, apalagi parkir di sebelah tanda dilarang parkir gini.” akhir nya Joni mulai setuju dengan logika dari Juni.

“Etapi ini kok ini parkir nya di depan kampus juga, pada rapi rapi dan ganteng ganteng gini ya?” tanya Joni.

“Oh itu mungkin tukang parkir disini mas, masa tukang parkir jaman sekarang gak boleh ganteng dan rapi.” Jawab Juni kalem.

“Iya juga ya, semacam kasir indomaret yang manis manis. Daerah Istimewa, masak tukang parkir nya biasa aja. ” Timpal Joni sambil tertawa.

Dan hari itu tercatat sebagai hari terakhir dimana mereka melewati jalan yang penuh dengan pelajaran moral dan spiritual itu.

Daerah Istimewa Darurat Parkir
Daerah Istimewa Darurat Parkir

 

One Comment

  1. Percakapan yang bagus, Joni manggut manggut terus 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: